Sebab itu aku senantiasa berusaha untuk hidup dengan hati
nurani yang murni
di hadapan Allah dan manusia. Kisah Rasul 24:16

Kata “nurani” berasal dari Bahasa
Arab nur yang berarti terang, cahaya.
Maka istilah itu sekaligus memberikan pemahaman yang mendasar tentang cahaya
yang menerangi sanubari seseorang untuk memberikan keinsyafan akan kondisi
moralnya sendiri. Cahaya ini merupakan kemampuan khas manusia dan juga salah
satu ciri terpokok dalam esksistensi moral seseorang. Dari manakah asal cahaya ini? Tentu dari sang
sumber Cahaya sejati, yaitu Allah sendiri. Namun bagaimana caranya agar Cahaya
itu bekerja secara maksimal? Maka yang terpenting yang perlu manusia lakukan
adalah ia harus mengalami perjumpaan terlebih dahulu dengan pribadi terang
dunia itu. Yesus menyebut diri-Nya, “Akulah terang dunia ;
barangsiapa mengikut Aku, ia
tidak akan berjalan dalam kegelapan, melainkan ia akan mempunyai terang hidup” Yohanes 8:12. Bersama Dia, kita akan dibuat-Nya berjalan
dalam terang yang sesungguhnya. Terang
itu dimiliki dan tetap adanya. Karena
itu hati nurani manusia yang sudah berjumpa dengan Kristus dan nurani yang masih
dalam dosa berbeda kualitasnya. Yang satu membawa manusia berlaku dalam sikap
moral semata, namun yang satu lagi lebih dari sikap moral maka adanya sikap
spiritual yang teraktual.
Hati nurani
mempunyai dua peran yang sangat kuat.
Peran pertama adalah sebagai penuduh.
Ia memberikan tuduhan, penghakiman, mengingatkan, menimbulkan rasa
bersalah dan rasa sesal. Ketika di dalam nurani datang tuduhan, penghakiman
dll., maka sebenarnya hati nurani kita sedang berfungsi dengan baik dan
benar. Dan sangat berbahaya bila nurani
kita sudah tidak memiliki kekuatan sensornya, artinya nurani kita diambang kematian.
Seseorang yang dengan sengaja dan terus-menerus melanggar hati nuraninya akan
mengalami kemerosotan pada tuntutan hati nurani itu dan akhirnya suara hati
tidak bersuara lagi. Peran kedua adalah sebagai pendorong. Yaitu ia mendorong seseorang agar mengerjakan
suatu tindakan yang benar untuk menjadi seperti yang Tuhan mau. Ketika seseorang telah berjumpa dengan Tuhan,
maka di dalam hati nuraninya timbul suatu dorongan yang terus -menerus
senantiasa untuk mengerjakan sesuatu yang mulia dan berharga baik bagi
kemuliaan Tuhan maupun bagi kebahagiaan orang sesama. Secara praktis tentu hal
ini dapat diwujud nyatakan dalam keseharian kita. Bagaimana kita berusaha
dengan sungguh-sungguh dalam bekerja, melayani, dan hidup memelihara keluarga
yang Tuhan percayakan.
Komentar
Posting Komentar