Matius 6:19-24, Suatu koreksi yang baik bagi kehidupan yang kita jalankan dalam keseharian ternyata pilihan pengabdian ada ditangan orang perorangan. Kita sudah terbiasa memaknai hidup dengan suatu keinginan dan hasrat untuk mencari harta kekayaan. Segala tujuan, pikiran dan tenaga kita habiskan untuk suatu kesenangan meraih harta yang menurut kita menjadi kekuatan dan modal penting dalam kehidupan. Sehingga sebetulnya berbagai tumpukan harta demi harta kita mulai kembangkan demi aset perjalanan hidup. Kalau pun itu tidak berbentuk uang, tapi juga bisa berbentuk barang, entah itu rumah, tanah, mobil mewah dan perhiasan yang tak terbilang harganya. Putaran kehidupan seakan mengisahkan bahwa tak ada orang seperti hidup menjadi kosong dan tanpa arti. Orang sudah tak lagi memandang harta sebagai kepunyaan yang sebagai alat penunjang dalam kehidupan namun sebagai inti pencapaian yang harus diutamakan. Di sana mereka menaruh makna, arti, nilai dan keberhargaan diri. Tampa sadar kita berusaha menempatkan diri setinggi mungkin dan menempatkan Tuhan sebagai Pribadi yang tidak perlu dikejar, dicari dan dihargai sedemikian rupa.
Punya harta tentu tak salah, karena harta adalah penunjang yang baik untuk kebutuhan kehidupan namun harta tidak boleh ditempat setinggi mungkin bahkan lebih tinggi dari Allah. Karena ketika itu terjadi maka seseorang akan membenci yang satu dan mengasihi yang lain. Kata kunci yang paling penting adalah karena harta nilainya sementara dan habis. Sementara harta di surga bernilai kekal dan tak terbilang, di sana tidak ada yang bisa mencuri, membongkar dan mengambilnya. Ketika seseorang menaruh hartanya di surga maka hatinya tertuju kepada surga itu dan harta dunia menjadi tak terlalu dipentingkan sedemikian rupa meski itu dibutuhkan. Namun bila sudah menyangkut hati maka kita perlu menentukan dengan suatu kesengajaan ke mana sebetulnya hati kita sedang mengarah apakah pada dunia atau pada surga itu. Saya melihat kalau hatinya selalu ke dunia, maka sebanyak apapun harta yang dimiliki maka selalu dia tidak puas dan tenang. Selalu ingin, ingin dan ingin. Tambah, tambah dan tambah. Maka hati menjadi kunci tiap orang agar mereka mampu menguasai, mengontrol dan mengendalikan agar hatinya melekat bukan pada harta namun kepada Tuhan. Saya belajar dari ayah saya yang mengutamakan Tuhan dalam pelayanannya dan bukan mengutamakan harta, sehingga ada suatu kegelisahaan tersendiri ketika dia mulai mengutamakan materi dan mengabaikan Tuhan yang ia layani. Saya selalu kagum dengan orang yang belajar mencukupkan diri dengan berkat yang Tuhan berikan kepada mereka. Ketika kita memiliki harta sebetulnya itu hanya titipan Tuhan saja, melaluinya kita menikmati pemeliharaan Tuhan. Namun kuncinya adalah mata kita, mengendalikan keinginan mata sama pentingnya dengan mengendalikan keinginan hati. Semua yang tampak indah di mata kita itu bersifat sementara dan fana. Namun saat kita gagal mempergunakan mata kita sebagai alat terang maka di sanalah sebetulnya letak kelemahan dan kegelapannya mulai bersinar. Karena kegelapan yang paling gelap adalah saat mata gagal menangkap cahaya sinar terang itu. Karena itu mata adalah kekuatan tubuh kita. Mata harus berfungsi sebagai mata yang baik dan memuliakan nama-Nya. Bukan untuk mempengaruhi tubuh melakukan sesuatu yang jahat dan melawan kehendak Tuhan.
Mari pakai harta, hati, mata kita sebagai suatu pengabdian yang memuliakan Tuhan. Jika kita tidak mampu melakukannya maka pasti terjadi suatu kekacauan yang memang tak sejalan dengan kehendak Tuhan. Orang bukannya mengabdi kepada Tuhan tetapi menjadikan Tuhan sebagai pelayannya. Orang bukannya mengasihi Tuhan tetapi mengasihi harta yang dia idamkan. Dia bukannya setia kepada Tuhan, tetapi setia karena ingin mendapatkan sesuatu dari Tuhan. Akhirnya tidak heran kalau kita lebih senang pemberian ketimbang Sang Pemberi-Nya. Itulah sebabnya pilihan yang disengaja sangat menentukan sikap kita, Tuhankah atau mamon? Kalau Tuhan maka mengabdilah kepada-Nya sebagaimana seharusnya Dia dilayani dan dimuliakan.

Komentar
Posting Komentar