Langsung ke konten utama

Berani Beraksi Hingga Mati



Percuma mereka beribadah kepada-Ku, sedangkan ajaran yang mereka ajarkan ialah perintah manusia. Matius 15:9

Aksi teror pada 14 Januari 2016 menyentak masyarakat yang berada di gedung Sarinah Jakarta pada pukul 10:50 Wib.  Aksi berani namun tidak terpuji ini mendapatkan kecaman dari berbagai kalangan.  Korban berjatuhan baik dari kalangan Sipil dan Polisi.  Keberanian yang tidak perlu ini memang di luar jangkauan akal sehat manusia.  Serasa tak masuk logika dan memang itu faktanya.  Berani mati, berani dicaci dan berani unjuk diri di muka umum.  Berani beraksi di dalam arti tertentu memang perlu, tentu dalam aksi yang benar.  Namun berani yang berakibat pada kerugian, kematian dan ketakutan tentu tidak perlu disebar luaskan karena pasti tidak dibutuhkan dalam keberlangsungan kehidupan.  Bukannya pujian, namun kecaman dan kutukan pasti diterima oleh pelakunya.  Karena itu diperlukan hati yang bersih, pikiran yang jernih dan cara hidup yang benar.  Tak penting seberapa kuat ajaran yang diemban dan seberapa besarnya pengikut dan pengaruhnya namun bila tidak dilakoni dalam tindakan yang benar maka semuanya menjadi hambar dan tawar.  Di dalam hidup kita harus memiliki pengertian yang luas; takut itu perlu, berani harus keduanya tak bercela dan tak perlu meniadakannya.  Takut berbuat dosa, berani bila benar adanya, karena itu jalani hidup dengan bijaksana. Presiden Indonesia, Jokowi mengegaskan agar masyarakat, “tidak boleh takut dan tetap tenang.” Itu harus! Tak perlu dibantah, namun bila jalan hidup kita benar tak perlu takut apalagi gentar, maju dan berjuanglah sebagai pendekar yang mewarnai dunia. 

Yesus memberikan teguran yang amat keras kepada mereka yang hidup dekat dengan Bait Allah; rajin beribadah, rajin menyampaikan pengajaran, memberikan perpuluhan, berpuasa dan merasa diri sebagai keturunan Abraham.  Kepercayaan diri yang luar biasa membawa mereka masuk pada jurang kelaliman dan menepuk dada.  Mereka pikir dengan mengikuti adat istiadat Yahudi dan terlahir sebagai orang Yahudi, mereka telah melakukan kehendak-Nya dan dengan semestinya menerima pahala, masuk surga. Padahal yang mereka lakukan hanyalah suatu adat istiadat yang diciptakan oleh manusia sendiri tanpa berdsarkan kebenaran.  Dengan pengajaran yang hanya memuaskan keinginan saja mereka berjalan.  Taurat Tuhan dilanggar dan adat-istiadat dihidupkan, tak ada rasa takut dan hormat kepada Tuhan.  Hormat terhadap orang tua dilalaikannya dan merasa telah menaati perintah-Nya. Mereka merasa bahwa kewajiban mereka telah selesai saat mereka memberikan persembahan kepada Allah. Dan merasa sudah bebas dan lepas dari tanggungjawabnya.  Namun disinilah letak ketidakbenaran yang perlu diluruskan dan ditegor secara keras dan tegas tanpa kompromi,  tak penting mereka yang mendengarnya tersinggung dan sakit hati, karena memang kebenaran yang sejati bila diwartakan di dalam kegelapan itu pasti menggelisahkan dan menyentak hingga membuat tersadar dan kembali kepada Dia sang pemilik hidup.  Bila kebenaran itu sendiri di tolak, memang sudah merupakan bagaian dari resiko pemberitaan, tak perlu sedih dan tawar hati karena memang kita hanya sebagai alat saja di tangan-Nya, Dialah yang berdaulat bergerak dan berkerja di dalam hati manusia.  Tetapi bila berita itu diterima, maka kita tak perlu berbangga dan menepuk dada karena itulah sukacitanya sang pembawa berita.  Bila kita baik dan hebat itu memang sudah semestinya karena memang seharusnya yang terbaik dari hidup ini kita berikan kepada-Nya.

Harus selalu diingat bahwa mereka yang sering ditegor oleh Yesus adalah orang-orang rohaniawan dari bangsa Yahudi dan itu artinya aktivitas ibadah yang kita jalani termasuk aktivitas pelayanan tidak menjadi jaminan bahwa kita sungguh-sungguh telah melayani sesuai dengan kehendak-Nya.  Bisa jadi apa yang kita lakukan adalah merupakan bagian dari warisan leluhur.  Adat bercampur dengan keimanan dan belum tentu benar, namun karena sudah membudaya kita menganggap itu adalah kekristenan.  Kerkistenan sejati diajarkan beribadah tidak hanya sekedar karena tuntutan keagamaan dan pelayanan tetapi kita beribadah karena keimanan sejati kepada-Nya.  Iman yang sejati pasti berdiri dalam cara yang berbeda dengan iman yang palsu.  Yang palsu hanya mirip tetapi tidak murni dan tepat seperti yang asli.  Itu sebab Yesus dengan jelas membedakan mana iman yang benar dan mana iman yang tidak benar.  Iman yang benar berdasarkan pada ajaran yang benar tetapi iman yang tidak benar berdasarkan kesenangan manusia belaka, bagaimana manusia merasa senang, puas, tertawa, bergembira namun ujungnya binasa.  Pengajaran yang benar tak selalu enak di dengar terkadang seseorang pun perlu bergumul begitu dalam untuk dapat memahami dan menerimanya, namun akhirnya kerajaan surga ada di dalam mereka.  Berani memegang teguh keyakinan yang benar itu memang sangat diperlukan.  Namun berani menyatakan kebenaran di tengah-tengah ketidakbenaran tentu menjadi sebuah tantangan yang menggetarkan.  Bila kita berani beraksi hingga mati dalam mewartakan pesan Tuhan, maka itu pun merupakan kasih karunia yang tak terbantahkan.  Kiranya, di mana pun saya dan anda berada kita berani beraksi dan bersaksi di dunia ini.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Akibat memandang ringan hak kesulungan

“ . . . . . . . Demikianlah Esau memandang ringan hak kesulungan itu.” Kejadian 25:34 Ada beberapa alasan mengapa di dalam Alkitab dicatat bahwa Esau memandang ringan hak kesulungan itu: 1.   Karena dia berkata bahwa hak kesulungan itu tidak ada gunakanya baginya sebab, menurut Esau sebentar lagi dia akan  mati, ayat. 32. 2.     Karena bagi Esau hak kesulungan sejajar dengan makanan dan minuman (kacang merah), ay. 34. 3.       Karena Esau mempunyai nafsu yang rendah, Ibrani 12:16. Penting bagi kita untuk melihat kegigihan Yakub yang berusaha mendapatkan hal kesulungan tersebut dan merebutnya dari Esau. Yakub yang adalah adik Esau justru memandang pentingnya hak kesulungan itu. Dia meminta kepada kakaknya Esau melakukan barter roti dan masakan kacang merah untuk ditukarkan dengan hak kesulungan. Dalam hal ini kita bisa belajar bahwa ketidakmampuan Esau dalam menghargai anugerah Tuhan, bisa saja membuat Esau bernafsu rendah dan secara mudah menyerahkan hak kesulu

Menggarami atau Digarami

Matius 5:13 Matius pasal 5 adalah merupakan bagian dari khotbah Tuhan Yesus di Bukit yang ditujukan kepada orang banyak dan kepada murid-murid-Nya. Yesus mengawali khotbah-Nya dengan menyampaikan tentang “Ucapan Bahagia”, kemudian diteruskan dengan berkata kepada mereka, “Kamu adalah Garam Dunia”. Garam tentu bukan suatu yang asing bagi pendengarnya dan bagi kita.   Namun dari dalamnya kita bisa menemukan beberapa kebenaran yang dimunculkan melalui ayat 13 tersebut:     1.     Orang Percaya adalah “Garam” Kita mengerti garam dan juga mengerti rasanya serta kita juga mengerti fungsinya.   Sehingga garam yang dikatakan oleh Tuhan Yesus di sini sebetulnya sangat mudah dimengerti oleh semua orang dan pengengarnya pada waktu itu.   Garam adalah merupakan suatu gambaran sederhana yang sengaja diangat untuk menyatakan kebenaran yang besar yang ingin Ia sampaikan.   Tuhan Yesus tidak berbicara mengenai garam yang ada di dapur, yang dipergunakan untuk mengawetkan daging, p

Kekristenan yang bertumbuh

Pertumbuhan merupakan suatu taget dari kehidupan Kristen.  Ketika seseorang menerima Tuhan Yesus Kristus, maka sejak itulah ia harus mengalami suatu pertumbuhan iman.  Sehingga ada istilah pertumbuhan gereja yang sebetulnya memiliki makna bukan gereja dalam arti bangunan, organisasi atau jumlah kegiatannya tetapi pertumbuhan orang-orang di dalamnya.  Dan itu melingkupi jemaat, pengurus termasuk pelayanan atau hamba Tuhan di dalamnya.  Ketika orang-orangnya banyak dalam kuantitas tetapi tidak bertumbuh dalam kualitas maka sebagai pemimpin gereja saya rasa menjadi sangat perlu bagi gereja untuk segera berbenah diri dan mengarahkan tiap-tiap orang pada pertumbuhan seperti yang Ia kehendaki. Pada siapakah gereja harus bertumbuh? Gereja harus bertumbuh pada pengenalan yang dalam akan Dia, pelayanan yang berfokuskan Dia dan kebanggaan akan Dia.  Bagaimana Kekristenan menghidupi firman Tuhan dalam hidupnya, melayani Dia, hidup benar dalam setiap ruang lingkup kehidupan dan menjadi gara