Langsung ke konten utama

Siapakah Aku Ini?


Sebuah puisi yang indah dikarang Detrich Bonhoeffer selama ia berada di dalam penahanan penjara Nazi menjelaskan tentang perenungannya yang sangat indah:
Siapakah aku? Sering orang, mengatakan
aku melangkah dari kurungan penjaraku
dengan tenang, dengan gembira, dengan tegap,
bagaikan pangeran dari istananya.
Siapakah aku? Sering orang mengatakan
Aku bicara pada sipir-sipirku
dengan bebas, dengan ramah, dengan jelas
seolah-oleh perintah ada padauk.
Siapakah aku? Orang mengatakan juga
aku menjalani hari-hari sial
dengan teduh, dengan senyum, dengan bangga,
bagaikan orang yang biasa menang.
Lalu, sungguh benarkah semua yang dikatakan tentang aku?
Atau, kebenaran akan aku hanya kuketahui sendiri:
resah dan rapuh serta sakit, bagaikan burung dalam sangkar,
sukar bernafas, seolah-olah ada tangan mencekikku,
rindu pada warna-warni, pada bunga-bunga, pada kicau burung,
haus akan sapaan-sapaan manis, akan keramahtamahan,
geram pada kelaliman dan penghinaan yang picik,
letih dan hambar dalam berdoa, berpikir dan berbuat,
layu dan siap berpisah dengan segalanya?
Siapakah aku? Yang ini atau yang tadi?
Adakah aku hari ini lain dari hari besok?
Ataukah keduanya sekaligus: seorang munafik di depan orang lain,
dan lemah serta hina di hadapan diriku sendiri?
Siapakah aku?
Pertanyaan-pertanyaan kesepianku ini terus mengolokku.
Siapa pun aku, Engkau yang paling tahu, O Allah, aku milik-Mu.

Detrich Bonhoeffer menggambarkan tentang keadaan manusia yang sesungguhnya.  Dalam titik tertentu kita di bawa Tuhan untuk sadar penuh akan eksistensi kita sebagai manusia yang seutuhnya.  Ada saatnya kita merasa tenang, gembira dan tegap bagaikan seorang pangeran namun ada saatnya kita harus menjalani hari-hari bagaikan berada dalam kesialan belaka.  Nada kehidupan mewarnai perjalanan setiap insan.  Pertanyaan tentang siapakah aku ini? Menjadi suatu tanya yang tidak mungkin dijawab sendiri oleh insan dalam nyatanya kehidupan.  Kita adalah debu, fana, sementara, hina dan berdosa adanya.  Keadaan yang rapuh dan merindukan pujian, sapaan manis dan penghargaan melekat dalam daging ini tak bisa terlepas karena itu yang diharapkan.  Yang menarik dari semuanya adalah ketika kita gagal memahami diri dalam hasrat yang kita damba, maka ketika kita menatap pada sang kuasa maka dari sana datangnya penjelasan yang sempurna dan akhirnya bersama Detrich kita pun harus berkata, O Allah, aku ini milik-Mu. 

Saat kita gagal menyadari bahwa kita adalah milik kepunyaan Tuhan maka kita merasa berhak dan berkuasa atas diri sendiri.  Kita pasti akan terus menepuk dada dan merasa berjasa atas apa yang kita lakukan dalam segala bidang yang kita kerjakan.  Dan seringkali kita berusaha untuk meminta Tuhan menyesuaikan Namun sejujurnya, karena kita milik-Nya, maka haruslah bagiku untuk menjalani hidup berdasarkan ketetapan kehendak-Nya.  Bukan menurut selerasa dan ukuranku tetapi menurut selerasa dan ukuran-Nya.  Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu” (Luk 1:38).  Dalam kapasitas sebagai hamba, maka kita menjalani setiap ketetapan dan kehendak Tuhan untuk diwujudkan di dalam serta melalui kita. Sehingga perjalanan hidup kita berkenan dan memuliakan nama-Nya. Memang pada akhirnya, kesejatian penghambaan kita akan diuji oleh waktu dan pertarungan dalam menghadapi segala rintangan yang aja.  Bagi hamba sejati melaluinya meraka akan muncul sebagai hamba yang dimurnikan sehingga semakin tampak cahayanya.  Namun bagi yang terbakar itu hanya pertanda saja bahwa sebetulnya mereka bukanlah hamba yang sesungguhnya.  Itu sebab kita perlu menjalani hidup harus dengan sikap yang benar, sungguh-sungguh dan kegigihan yang kuat.  Sehingga apapun resiko yang harus kita jalani sebagai seorang hamba justru menjadi suatu penggerak (pembakar) untuk kita berjalan lebih maju dan dalam bersama-Nya.  Maria telah berani mengambil resiko yang tak mudah sebagai seorang perawan untuk menerima maksud Allah di dalam dirinya.  Dalam jamannya seorang wanita yang hamil sebelum menikah bisa saja dirajam dengan batu sampai mati. Namun lagi-lagi ada pekerjaan Allah yang harus dijalaninya sebagai seorang hamba Tuhan.  Banyak orang pada akhirnya marah dan merengek karena setiap masalah yang mereka hadapi lalu berkata kepada Tuhan kenapa situasi yang sualit harus mereka jalani padahal mereka sudah bekerja keras untuk Tuhan?  Dan mereka merasa Tuhan harus membalas perbuatan baik mereka.  Bila kesulitan yang datang maka mereka akan mudah marah kepada Allah, dan itu sama seperti pemazmur Asaf (Mazmur 73), ia merasa Allah memberikan Tuhan kepadanya dan membiarkan orang lalim dalam kesenangan dan kelancaran.  Harus kita akui bahwa kita seringkali cemburu kepada mereka yang tidak mengenal Tuhan.  Dan cemburu kita seringkali pada fenomena luar yang terjadi dalam diri seseorang, mereka bisa lebih segar, gemuk, happy dan makmur.  Sementara kita seakan berada dalam ‘kutukan’ yang tak beralasan.  Telah kita lakukan maunya tetapi sengsara yang kita terima.

Namun jangan cepat-cepat memberikan suatu kesimpulan dan mempersalahkan Tuhan sebab di dalam perjalanan iman kita akan di bawa Tuhan untuk melihat kenyataan yang sesungguhnya ternyata orang benar justru dijaga dan dipelihara oleh tangan-Nya bisa saja melalui derita yang mereka alami.  Namun orang  fasik sengaja Tuhan biarkan untuk menjalani kesenangannya dalam aspek yang tidak terkontrol, “Tuhan sedang melepas mereka”, membiarkan mereka berada di jalan yang licin.  Tuhan tidak perlu membinasakan mereka, karena sebetulnya mereka telah binasa di dalam dirinya.  Kebinasan yang sangat mengerikan!  Bukankah sangat mengerikan bila dokter berkata kepada seseorang yang berpenyakitan untuk tidak usah lagi berpantangan makanan?  Setahu saya ini bukanlah berita baik, karena ini bisa jadi karena dokter sudah tahu bahwa umur orang tersebut sudah tidak lama lagi sehingga membiarkan sang pasien makan makanan sebebasnya dan semaunya.  Daripada dia menderita gak makan ini dan itu, lebih baik dibiarkan makan karena toh nanti pasti mati juga. Namun inilah kenyataan hidup, masih banyak orang Kristen yang tidak menyadari tentang siapa dirinya.  Mereka masih berpikir bahwa dirinya adalah miliknya sendiri karena itu mereka merasa berhak berbuat segala sesuatu semaunya.  Namun pernkah kita menyadari, bila kita sudah menjadi milik Kristus maka hanya kepada Dialah kita mengabdi.  Dan selayaknya berbuat sesuatu yang menyenangkan hatinya. Betulkah engkau sudah menjadi milik-Nya? Bila sungguh demikian, maka engkau akan melakukan segala sesuatu yang dia mau di dalam kehidupanmu untuk kemuliaan nama-Nya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Akibat memandang ringan hak kesulungan

“ . . . . . . . Demikianlah Esau memandang ringan hak kesulungan itu.” Kejadian 25:34 Ada beberapa alasan mengapa di dalam Alkitab dicatat bahwa Esau memandang ringan hak kesulungan itu: 1.   Karena dia berkata bahwa hak kesulungan itu tidak ada gunakanya baginya sebab, menurut Esau sebentar lagi dia akan  mati, ayat. 32. 2.     Karena bagi Esau hak kesulungan sejajar dengan makanan dan minuman (kacang merah), ay. 34. 3.       Karena Esau mempunyai nafsu yang rendah, Ibrani 12:16. Penting bagi kita untuk melihat kegigihan Yakub yang berusaha mendapatkan hal kesulungan tersebut dan merebutnya dari Esau. Yakub yang adalah adik Esau justru memandang pentingnya hak kesulungan itu. Dia meminta kepada kakaknya Esau melakukan barter roti dan masakan kacang merah untuk ditukarkan dengan hak kesulungan. Dalam hal ini kita bisa belajar bahwa ketidakmampuan Esau dalam menghargai anugerah Tuhan, bisa saja membuat Esau bernafsu rendah dan secara mudah menyerahkan hak kesulu

Menggarami atau Digarami

Matius 5:13 Matius pasal 5 adalah merupakan bagian dari khotbah Tuhan Yesus di Bukit yang ditujukan kepada orang banyak dan kepada murid-murid-Nya. Yesus mengawali khotbah-Nya dengan menyampaikan tentang “Ucapan Bahagia”, kemudian diteruskan dengan berkata kepada mereka, “Kamu adalah Garam Dunia”. Garam tentu bukan suatu yang asing bagi pendengarnya dan bagi kita.   Namun dari dalamnya kita bisa menemukan beberapa kebenaran yang dimunculkan melalui ayat 13 tersebut:     1.     Orang Percaya adalah “Garam” Kita mengerti garam dan juga mengerti rasanya serta kita juga mengerti fungsinya.   Sehingga garam yang dikatakan oleh Tuhan Yesus di sini sebetulnya sangat mudah dimengerti oleh semua orang dan pengengarnya pada waktu itu.   Garam adalah merupakan suatu gambaran sederhana yang sengaja diangat untuk menyatakan kebenaran yang besar yang ingin Ia sampaikan.   Tuhan Yesus tidak berbicara mengenai garam yang ada di dapur, yang dipergunakan untuk mengawetkan daging, p

Kekristenan yang bertumbuh

Pertumbuhan merupakan suatu taget dari kehidupan Kristen.  Ketika seseorang menerima Tuhan Yesus Kristus, maka sejak itulah ia harus mengalami suatu pertumbuhan iman.  Sehingga ada istilah pertumbuhan gereja yang sebetulnya memiliki makna bukan gereja dalam arti bangunan, organisasi atau jumlah kegiatannya tetapi pertumbuhan orang-orang di dalamnya.  Dan itu melingkupi jemaat, pengurus termasuk pelayanan atau hamba Tuhan di dalamnya.  Ketika orang-orangnya banyak dalam kuantitas tetapi tidak bertumbuh dalam kualitas maka sebagai pemimpin gereja saya rasa menjadi sangat perlu bagi gereja untuk segera berbenah diri dan mengarahkan tiap-tiap orang pada pertumbuhan seperti yang Ia kehendaki. Pada siapakah gereja harus bertumbuh? Gereja harus bertumbuh pada pengenalan yang dalam akan Dia, pelayanan yang berfokuskan Dia dan kebanggaan akan Dia.  Bagaimana Kekristenan menghidupi firman Tuhan dalam hidupnya, melayani Dia, hidup benar dalam setiap ruang lingkup kehidupan dan menjadi gara