Suatu fenomena yang luar biasa terjadi di balai kota DKI pasca kekalahan Bp. Basuki Tjahja Purnama dalam Pilkada menurut hitungan cepat berbagai lembaga survei yang ada. Karangan bunga yang dikirim ke balai kota menyiratkan perasaan para pendukung dan masyarakat yang merasa kecewa dengan kalahnya jagoan mereka saat pertarungan itu. Alasannya luar biasa, meski kalah tapi menurut mereka Pak Ahok tetap ada di hati karena telah memimpin Jakarta dengan baik; berani melawan preman yang menguasai suatu area tertentu demi kepentingan suatu golongan, berani memangkas anggaran yang tidak perlu, berani melawan pemain lama yang selama ini ongkang-ongkang kaki makan hasil korupsi, berani dikucilkan dan melawan berbagai kejahatan di Ibu Kota yang dilakukan oleh kalangan elit, berani melawan arus yang selama ini dianggap sah-sah saja. Kehadirannya sungguh telah merubah wajah ibu kota dan menginspirasi banyak tokoh-tokoh politik dan masyarakat secara luas. Hasilnya kadang ia harus menerima penolakan dengan berbagai ragam bentuk dan terakhir serangan yang luar biasa, ia dianggap sebagai penista agama tertentu karena ucapannya di pulau seribu itu, meski menurut para pakar tafsirannya masih pro dan kontra. Namun sosok Ahok telah "terlanjur" melekat di hati para pendukung setianya. Namun sama seperti lirik sebuah lagu akhirnya kita mau tidak mau ikut melantunkannya, "Apa pun yang terjadi, ya sudahlah." Almarhum Gusdur pun sering berkata, "Gitu aja kok repot."
Karangan bunga itu menjadi saksi bahwa banyak orang yang mencintai Pak Ahok mulai dari orang terdekat sampai orang yang hanya tahu tentangnya dari media sosial. Sampai-sampai karena Pak Ahok, Bapak saya yang dikampung sana pun minta kirimi baju kotak-kotak dan dengan bangga menggunakan bajunya. Baju ini adalah baju Pak Ahok, ucapnya. Karangan bunga itu adalah wujud sukses dari Pak Ahok dalam memenangi hati rakyat sehingga sulit rasanya bagi mereka untuk move on. Meski di satu sisi mereka pun harus menerima suatu realita yang tak mudah untuk diterima. Tapi, ya sudahlah. Perjuangan Pak Ahok tentu belum selesai, semasa nafas masih di kandung badan berarti berbagai kesempatan masih terus menanti di depan mata. Tak butuh mantra ini dan itu, hanya butuh hati yang bersih, mata yang jenih dan pikiran yang cerdas, tentu spiritual yang kuat untuk bergulat menapaki hari-hari yang ada di depan sana. Tak perlu banyak berspekulasi apakah nanti akan diangkat jadi menteri atau lainnya namun di hari esok pun Tuhan tolong dan pelihara. Yang penting menjaga kelakuan yang bersih dan hidup benar di hadapan-Nya.
Apa yang Pak Ahok lakukan harus menjadi modal dan model bagi kita bahwa hadiah terbesar saat seseorang menjabat bukan uang yang banyak atau pujian sorak-sorai namun saat ia bisa bekerja dengan maksimal, mendatangkan suatu perubahan dengan standar yang tinggi dan benar, dan orang lain bisa menilai serta merasa puas dengan kinerja yang dilakukan sehingga dengan gembira di campur rasa sedih mengirimkan bunga ke balai kota. Hidup yang menjadi model tentu menjadi nada indah dan menjadi warna yang tak boleh diabaikan oleh setiap orang percaya namun pastinya ada kunci yang sangat perlu dipegang agar dapat menjaga kelakukan yang bersih itu, yaitu menjaganya sesuai dengan firman Tuhan. Tolak ukur dan standar seorang beriman hidup adalah firman Tuhan yang ia hidupi di dalam keseharian. Dan itu memampukannya melakukan segala sesuatu dengan bijak, saleh dan takut akan Tuhan serta menjauhi berbagai bentuk kejahatan.
Komentar
Posting Komentar