Pagi ini saat melewati balai kota DKI Jakarta saya kagum melihat pemandangan yang agung. Sederetan bunga terpampang di sepanjang jalan depan balai kota dan monas. Destinasi wisata yang baru bagi orang-orang dari berbagai daerah karena selama ini hanya melihat dari televisi tetapi kini bisa sekalian jalan-jalan sendiri, bersama teman atau keluarga. Tapi bukan sekedar bunga itu yang membuat orang ingin datang tetapi menarik setiap kata yang ada di bunga papan itu, menceritakan tentang perasaan, makna dan kekaguman warga dari berbagai penjuru kepada Basuki Tjahja Purnama. Kisah itu dimulai ketika kekalahannya melawan Anies-Sandi di pilgub putaran ke dua menurut hitungan berbagai lembaga survei yang ada. Kekalahan itu menuai simpatik dan rasa kecewa yang mendalam, pasalnya Gubernur yang selama ini telah dikagumi karena memimpin dengan bersih, dengan integritas, berani melawan arus dan memiliki spiritual yang baik, dan berkapasitas untuk memimpin Jakarta ke arah lebih baik, kini harapan menjadi pupus tapi tetap berharap Pak Basuki tetap menjadi pemimpin karena kualitas dan model yang ia berikan telah terasa dan mengakar di dalam jiwa warganya. Saya melihat fenomena Ahok bukan sekedar sesuatu yang luar biasa karena namanya sudah mendunia namun jiwa kepemimpinan betul-betul bisa dirasakan oleh tiap kalangan yang memiliki hati nurani yang murni. Tentu bukan sekedar dia sebagai orang Kristen saja karena saya pun kagum dengan Pak Jokowi yang non Kristen tetapi memimpin dengan sikap yang berintegiras, jalan-jalannya lurus dan mempedulikan kehidupan masyarakat banyak di seluruh nusantara karenanya pembangunan dan perhatian pemerintah kini dapat di rasakan di seluruh penjuru tanah air. Kiprah dan langkahnya juga mendunia, karena memang jiwanya dalam memimpin Indonesia tak sekedar berdasarkan suku, agama, budaya, apalagi sekedar untuk mengisi pundi-pundi diri. Berbagai strategi dan aksi sangat membumi sehingga semua menteri pun ikut berpartisipasi dalam menjalankan visi misinya sehingga kalau ada yang keluar jalur maka siap-siaplah diganti dengan reshuffle menteri.
Kembali ke fenomena Ahok, saya bukan relawan tetapi saya mengikuti sepak terjang melalui berita di berbagai media. Keberanian melawan arus telah menjadi sesuatu yang sangat kental di dalam dirinya, yang terakhir kita mendengar penjelasannya dipersidangan melalui perumpamaan "ikan Nemo," dalam kisah itu terungkap ke dalaman hati Pak Ahok yang sebetulnya bisa menyelamatkan diri dari berbagai kondisi yang menimpa dirinya asal mau kompromi dan merenggek untuk diri. Namun jiwanya tak pernah lelah berjuang untuk orang lain, ia rela diabaikan, tanpa ucapan terima kasih, di acuhkan dan disingkirkan yang terpenting sudah melakukan bagiannya secara baik dan benar. Inilah kemerdekaan dari Pak Ahok, dia tidak bergantung pada kondisi di luar sana karena semangatnya ada di dalam nadi dan jiwanya. Semangatnya berjuang untuk orang miskin, untuk kebaikan kota jakarta telah diterjemahkan secara salah oleh pengamat dadakan, oleh orang yang tak suka bahkan menjadi acaman serta penyebab datangnya serangan dari para lawan yang berbeda arus dan semangat dengan dirinya.
Fenomena Ahok harusnya membuat kita tertunduk malu, Ahok sendiri berjuang kita terlalu banyak melipat tangan dan pergi ke gereja dengan menggunakan jas dan dasi serta dengan bangga menenteng Kitab Suci. Saya merasa gereja terlalu banyak diam dan bersembunyi dengan berbagai alasan mungkin karena takut sehingga tidak mampu bertanding dan menyuarakan kebenaran di tengah zaman yang bengkok ini. Kita terlalu banyak berkhotbah manis-manis di gereja, khotbah tentang perpuluhan dan kesuksesan namun sedikit khotbah tentang perjuangan melawan politik kotor, melawan kemiskinan, melawan tindakan korupsi, melawan kekerasan secara elegan dan berbagai permasalahan kehidupan di dalam masyrakat. Akibatnya kita terlalu kaya tentang pengetahuan tentang surga dan miskin tentang kehidupan di bumi. Iman kita begitu kuat bersandar pada Tuhan namun miskin di dalam kelakuan keberimanan sehingga miskin pengaruh dan tak bisa mejadi jawaban. Itu sebab Alkitab pun harus berkata, " Bila garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia di asinkan, maka tidak ada yang bisa membuatnya menjadi asin lagi, kalau begitu apa artinya garam. Ia hanya layak untuk di buang dan dijinjak orang." Ketika kehidupan Kristen kita tidak mendarat dan menjadi berkat maka tidak ada gunanya lagi selain di buang dan diinjak orang. Karena itu jangan marah kalau kita dibuang dan diinjak-injak oleh kelompok-kelompok radikal, jangan marah kalau kita tidak terpakai, jangan marah kalau kita diabaikan karena kita memang tidak berdaya guna. Terlalu banyak lembaga Kristen yang besar dan hebat-hebat di Indonesia namun tidak hebat menyuarakan kebenaran dan keadilan di bangsa ini. Kita terlalu terkotak-kotak, kita terlalu mementingkan diri sendiri. Anehnya ada yang mengatas namakan pendeta-pendeta justru mendukung dan kompromi dengan kelompok yang berseberangan. Kita terlalu bernyali berkhotbah di dalam gereja tetapi terlalu banci berkiprah di dalam dunia. Kiranya semangat kita mulai tersemai melalui Pak Ahok, dan belum terlambat bagi lembaga-lembaga gereja dan kita secara personal untuk belajar dari semangatnya. Kiranya fenomena Ahok itu menggugah hati kita untuk menjadi saksi dan terang di dalam dunia yang gelap ini. Satu orang menjadi terang maka muncullah suatu harapan yang baru.
Komentar
Posting Komentar