Suatu
peristiwa yang mengguncang di dalam sejarah hidup manusia bahwa ada seorang
Juruselamat yang mau mengalami kematian untuk menyelamatkan manusia.
Kematian-Nya banyak disalahpahami oleh orang-orang yang tidak mengenal Allah
bahkan oleh mereka yang menyebut diri ahli Taurat sehingga ketika Ia tergantung
di kayu Salib banyak orang mempertanyakan keberadaan-Nya dengan nada sinis,
jika Engkau memang Juruselamat selamatkan diri-Mu? Karena bagi manusia tidak mungkin Sang
Juruselamat tergantung di kayu Salib dan mati.
Bagi mereka Yesus harusnya tampil sebagai seorang hero yang melawan
kejahatan lalu terlihat secara hebat menjadi seorang pemenang. Jadi menurut mereka tidak perlu mengalami penyiksaan,
olok-olokan, caci-maki, dan penderitaan yang begitu dalam sampai mati dengan di
hina di kayu Salib yang seakan terlihat tak berdaya menyelamatkan diri dan pada
puncaknya mati tergantung di Salib. Manusia yang telah jatuh di dalam dosa memang
tak bisa memahami penuh mengapa sang Juruselamat itu mau mati bagi kita? Kematian bukanlah simbol kemenangan, itu yang
dipahami kebanyakan masyarakat umum.
Kematian identik dengan kekalahan dan kebodohan. Namun mengapakah Dia mau mengalami maut? Maka
Alkitab mencatat bahwa upah dosa ialah maut dan kasih karunia Allah ialah hidup
yang kekal di dalam Kristus. Maut yang
harusnya ditanggung dan dipikul sendiri oleh manusia yang berdosa maka karena
Kristus maka Ia mau mengalami maut itu agar manusia menerima kehidupan yang
kekal dan bersekutu dengan Allah Bapa.
Mengapa Dia mau? Saya pun tidak tahu tetapi yang saya tahu itu Ia
lakukan karena kasih.
Maut
justru menjadi jawaban atas kengerian yang harus ditanggung manusia, kini
ditanggung-Nya. Maut menjadi suatu
peristiwa yang sangat penting bahwa Kristus berkuasa atas maut itu dan maut itu
tidak bisa mengalahkan-Nya. Kuasa maut
telah dikalahkan-Nya. Dan justru di alam
maut itu Ia mengumandangkan tentang kemenangan-Nya dan kehidupan serta
pengharapan manusia. Jadi mengapa Yesus mati? Yaitu agar orang yang percaya
mengalami hidup. Kematian adalah jalan
yang ditempuh-Nya agar kita hidup berpengharapan di dalam Dia. Karena Dia rela mati maka kita tahu betapa
mengerikannya kematian yang dijalani-Nya itu.
Dia begitu bergumul menghadapi kematian di taman Getsemani, karena
kematian itu membuat-Nya harus terpisah dengan Bapa dalam waktu yang sementara,
sebab ketika Ia menanggung dosa maka Allah bahwa tidak mau memandang kepada-Nya
karena Dia terlalu hina, kehinaan-Nya karena menanggung dosa kita. Begitu mengerikan kematian itu, sampai-sampai
Anak yang dikasihi-Nya mengerang dan Bapa tidak sanggup memandang kengerian
yang luas biasa itu tertimpa kepada Anak-Nya, walau dalam waktu sesaat namun
dosa yang dipikul-Nya begitu berat.
Meskipun
jalan via dolorosa itu begitu menggetarkan dan Ia sendiri harus bergumul di
taman untuk menghadapinya, namun Ia mau menjalani-Nya agar kita tidak
binasa. Alkitab berkata bahwa siapa yang
percaya kepada-Nya tidak binasa melainkan beroleh hidup yang kekal tetapi
mereka yang menolak-Nya akan dihukum dalam kekekalan. Jalan kehidupan telah dibuka-Nya dan dengan
lantang Ia berkata, “Akulah jalan, kebanaran dan hidup, tidak ada seorang pun
yang datang kepada Bapa kalau tidak melalui Aku.” Kehidupan menjadi bagian mereka yang
percaya. Tahulah kita bahwa Dia mati
bukan karena kekonyolan dan kebodohan.
Tetapi kematian-Nyalah yang menjadi jawaban atas kehidupan kita. Melalui mati-Nya kita hidup bersekutu dengan
Bapa. Hanya Kristus yang layak untuk
menempuh jalan kematian itu untuk mewakili manusia yang berdosa. Karena satu orang Adam maka semua orang jatuh
dalam dosa dan berbuat dosa tetapi karena satu orang Kristus maka semua orang
yang percaya mengalami kehidupan yang kekal.
Kiranya bagian ini mempertajam pemahaman kita dan memperkokoh iman kita. Selamat Paskah.
Komentar
Posting Komentar